Tragedi di Rel Tanpa Palang: Perjalanan Ibadah yang Berujung Luka Mendalam di Kota Pariaman
Pemotor Terseret Kereta di Pariaman Saat Menuju Masjid, Alami Luka Serius – Dok. Hasil tangkapan layar akun instagram akun infosumbar
D'On, Pariaman, Sumatera Barat – Suasana damai jelang waktu salat Zuhur di Kelurahan Kampung Pondok, Kecamatan Pariaman Tengah, mendadak berubah mencekam, tatkala sebuah kecelakaan tragis mengguncang ketenangan siang itu. Di tengah rutinitas warga yang bersiap menuju masjid, terdengar jeritan keras diiringi suara rem kereta api yang terlambat menghentikan laju mautnya. Di ujung rel yang tak dijaga dan tanpa palang pengaman, seorang pria lansia terkapar bersama sepeda motornya yang hancur, menyisakan kepedihan bagi siapa pun yang menyaksikan.
Korban dalam insiden memilukan itu adalah Samsurizal (60), seorang warga setempat yang dikenal taat beribadah dan ramah kepada tetangga. Siang itu, seperti biasanya, ia menunggangi sepeda motor Honda Revo miliknya, hendak menunaikan salat Zuhur di masjid tak jauh dari rumah. Namun takdir berkata lain di perlintasan kereta api yang berada di jalan kecil tanpa rambu, tanpa palang, tanpa penjaga sebuah kereta api melaju dari arah berlawanan, dan dalam hitungan detik, menghantam Samsurizal hingga tubuhnya terseret beberapa meter.
Benturan keras itu tak hanya menghancurkan motor yang dikendarainya, tapi juga mengakibatkan luka serius pada tubuh pria sepuh tersebut. Kepala berdarah, kaki patah, dan tubuh penuh lebam menjadi saksi bisu kerasnya benturan antara manusia dan mesin baja. Samsurizal segera dilarikan ke RSUD Prof. H. Muhammad Yamin untuk mendapatkan penanganan medis intensif. Hingga kini, kondisi beliau masih kritis namun stabil, dengan pengawasan ketat dari tim medis.
Kasat Lantas Polres Pariaman, Iptu Abdullah Riadi, dalam keterangannya membenarkan kejadian tersebut. "Korban mengalami luka cukup serius, terutama di bagian kepala dan kaki. Proses penanganan medis sedang berlangsung. Kami juga telah mengamankan TKP dan mengumpulkan keterangan dari para saksi," ujarnya. Dua saksi mata, Januar Bima Atmaja (32) dan Zulfardiansyah (40), memberikan keterangan penting kepada pihak kepolisian mengenai kronologi kejadian.
Kecelakaan ini tak hanya menorehkan luka fisik pada korban, tapi juga menggugah kesadaran kolektif warga akan bahaya yang mengintai di rel-rel kereta api tanpa pengamanan. Ironisnya, perlintasan sebidang yang menjadi tempat kejadian perkara bukanlah perlintasan baru melainkan jalur yang telah lama digunakan warga setempat untuk melintas, meski tanpa pengawasan dari pihak berwenang. Ketiadaan palang pengaman maupun rambu otomatis seolah menjadi kelalaian sistemik yang hingga kini belum tersentuh solusi konkret.
Kerugian material akibat insiden ini ditaksir mencapai Rp7 juta, namun lebih dari angka itu, yang terasa jauh lebih mahal adalah harga dari rasa aman yang lenyap seketika dari lingkungan tersebut. Ketegangan masih menyelimuti warga yang kini dihantui rasa was-was setiap kali melintasi rel yang sama.
Pihak kepolisian menegaskan akan terus menyelidiki kasus ini secara menyeluruh. “Kami masih mendalami apakah ada faktor lain yang turut menyebabkan kecelakaan, seperti gangguan teknis, jarak pandang terbatas, atau unsur kelalaian lain,” jelas Iptu Abdullah.
Selain penyelidikan, polisi juga kembali mengimbau masyarakat agar tidak menyepelekan keselamatan di perlintasan sebidang. “Waspada itu mutlak. Jangan pernah menyeberang tanpa memastikan situasi aman. Tengok kanan kiri, berhenti sejenak, lalu lintasi dengan hati-hati,” tambahnya.
Tragedi ini sekali lagi menjadi pengingat pahit bahwa keselamatan publik bukan hanya soal kewaspadaan individu, tapi juga tanggung jawab kolektif antara masyarakat dan pemerintah. Ketika rel-rel kematian terus menganga tanpa penjagaan, tak ada yang bisa menjamin bahwa Samsurizal adalah korban terakhir. Saatnya semua pihak bersinergi: agar perjalanan ibadah tak lagi harus dibayar dengan darah.
(Mond)
#Peristiwa #Kecelakaan #Pariaman