Wajah Pariwisata Padang: Antara Potensi Alam dan Realitas Tata Kelola
Zulkifli, Ketua Komite Peduli Bencana Kota Padang & Wakil Sekretaris DPD Gerindra Sumatera Barat
D'On, Padang - Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, kekayaan alam dan keindahan objek wisata di Indonesia, khususnya Sumatera Barat, tidak kalah—bahkan bisa dikatakan jauh lebih unggul. Lautan biru yang membentang, perbukitan hijau nan memesona, serta warisan budaya yang masih hidup dalam keseharian masyarakat, menjadikan kota ini memiliki potensi pariwisata luar biasa. Sayangnya, potensi itu sering kali terkubur dalam tumpukan persoalan klasik: tata kelola yang carut-marut, pengelolaan anggaran yang tak transparan, dan minimnya sentuhan kebijakan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.
Lihatlah bagaimana negara-negara tetangga membangun sektor pariwisata mereka. Di sana, kita jarang melihat pejabat tampil hanya demi pencitraan. Regulasi disusun secara komprehensif, birokrasi dirancang efisien, dan setiap pungutan dari sektor wisata disalurkan dengan akuntabel untuk pembangunan dan peningkatan taraf hidup masyarakat. Pengelolaan sektor wisata bukan hanya soal mengejar pendapatan daerah, melainkan juga membangun ekosistem sosial yang mendukung kemajuan bersama.
Sementara itu di Padang, narasi yang dibangun sering kali megah di media massa yang ironisnya dibiayai pula dari dana rakyat namun sayangnya, tak selalu sejalan dengan realitas di lapangan. Kepala daerah hadir meresmikan lokasi wisata, menebar senyum dan salam, tetapi setelahnya, pengelolaan dibiarkan berjalan tanpa arah yang jelas. Pendapatan dari parkir tak pernah diketahui kemana alirannya, warga lokal tak dibekali pemahaman atau pelatihan tentang pentingnya pelayanan wisata, hingga akhirnya muncul praktik premanisme dan pemalakan karena masyarakat tak merasa dilibatkan ataupun diberdayakan.
Hal ini menggambarkan bahwa persoalan pariwisata tak bisa dilepaskan dari etika dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan yang baik, yang akuntabel, seharusnya dibangun di atas prinsip etika administrasi publik. Artinya, tidak boleh ada ruang untuk politisasi jabatan. Prinsip meritokrasi mesti ditegakkan. ASN, sebagai garda terdepan pelayanan publik, harus dijauhkan dari tarik-menarik kepentingan politik praktis.
Namun sayangnya, aroma intervensi semakin terasa. Kini, publik bisa melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana tim sukses dan ketua partai pendukung wali kota mulai "krasak-krusuk", mengacak-ngacak struktur ASN demi kepentingan politik jangka pendek. Jika hal ini terus dibiarkan, kita khawatir Padang hanya akan menjadi kota dengan potensi besar yang terus tertidur di bawah bayang-bayang kekuasaan yang manipulatif.
Untuk itu, mari kita ingatkan bersama: kota Padang adalah milik seluruh warganya. Wali kota terpilih, pasca Pilkada, adalah pemimpin bagi semua, bukan hanya milik partai pengusung atau tim suksesnya. Jangan ada lagi "wali kota bayangan" yang mengatur birokrasi dari balik layar. Jika ada kritik dari publik, jangan kebakaran jenggot. Jadikan kritik itu sebagai vitamin demokrasi bukan ancaman politik.
Sebagai kader partai, saya juga ingin menyampaikan kepada sesama kader agar lebih dewasa dalam menyikapi dinamika publik. Kita harus siap mendengar, bukan hanya saat pujian dilontarkan, tetapi juga ketika koreksi datang dari masyarakat. Karena tugas kita bukan mempertahankan kekuasaan, tapi memastikan bahwa kekuasaan dijalankan untuk kebaikan rakyat.
Padang bisa maju. Sangat bisa. Tapi hanya jika kita mau menutup rapi praktik titip-menitip jabatan dan kembali kepada tujuan mulia bernegara: membangun kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh warga.
(*)
#Padang